BULETIN JUM'AT ONLINE - Edisi 49 / Th. II / Shofar 1435 H
Esensi Malu Dalam Kehidupan
Sifat malu termasuk di antara sifat terpuji yang sudah ditinggalkan oleh banyak orang. Padahal sifat ini bisa mendatangkan banyak kebaikan bagi orang yang memilikinya serta membentengi dirinya agar tidak terjerumus dalam perilaku buruk. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda : “Sesungguhnya rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari)
Beliau juga mengabarkan bahwa malu merupakan bagian dan cabang dari keimanan. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda : “Iman memiliki 70 atau 60 cabang lebih. Yang tertinggi adalah ucapan Laa Ilaaha Illallaah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu itu salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallama pernah bertemu dengan seseorang yang sedang mengingatkan atau mencela saudaranya yang pemalu. Kemudian Nabi bersabda : “Biarkan dia, karena sesungguhnya malu itu adalah sebagian dari iman.” (HR. Bukhari)
Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa malu bukan suatu yang buruk, bahkan sebaliknya termasuk sifat terpuji. Simaklah apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullaahu, “Kata al-Hayaa’ berasal dari (satu kata dasar dengan) al-Hayat (kehidupan). Oleh karena itu hujan juga disebut al-Hayaa (pembawa kehidupan). Kadar rasa malu seseorang sangat tergantung dengan kadar hidupnya hati. Sedikitnya rasa malu merupakan indikasi hati dan ruhnya telah mati. Semakin hidup hati seseorang, maka rasa malunya akan semakin sempurna.”
Rasa malu itu ada dua macam, yaitu malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan malu kepada manusia. Malu kepada Allah maksudnya merasa malu dilihat Allah saat melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallama : “Hendaklah kalian benar-benar merasa malu kepada Allah !” Para sahabat menjawab, “Kami sudah merasa malu, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Bukan itu maksudnya, akan tetapi barangsiapa yang benar-benar merasa malu kepada Allah maka dia harus menjaga kepala dan isinya, menjaga perut dan isinya dan dia terus mengingat kematian. Orang yang menginginkan akhirat, dia pasti akan meninggalkan keindahan dunia. Barangsiapa melakukan ini berarti dia benar-benar merasa malu kepada Allah Ta’ala.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Dalam hadits di atas, Rasulullah menjelaskan dengan gambling sifat orang yang tertanam rasa malu kepada Allah Ta’ala dalam lubuk hatinya. Dia terus berusaha menjaga seluruh anggota tubuhnya agar tidak berbuat dosa dan maksiat, senantiasa ingat kematian, tidak punya keinginan yang muluk-muluk terhadap dunia dan tidak terlena dengan nafsu syahwat.
Orang yang merasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dia akan menjauhi semua larangan Allah dalam segala kondisi, baik saat sendiri maupun di tengah keramaian. Rasa malau seperti ini masuk dalam ketegori ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sebuah rasa malu yang merupakan buah dari ma’rifatullah (mengenal Allah Ta’ala). Rasa malu yang muncul karena menyadari keagungan dan kedekatan Allah Ta’ala. Rasa malu yang timbul karena mengetahui bahwa Allah itu Maha Mengetahui terhadap semua perbuatan, yang nampak maupun yang tersembunyi dalam hati. Rasa malu seperti inilah yang masuk dalam bagian iman tertinggi bahkan menempati derajat ihsan tertinggi. Tentang ihsan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda : “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah Ta’ala sekan-akan engkau melihat-Nya maka Allah Ta’ala pasti melihatmu.”
Di samping rasa malu kepada Allah Ta’ala, kita juga harus memiliki sifat malu kepada manusia. Rasa malu ini akan mencegah kita dari perbuatan yang tidak layak dan tercela. Rasa malu membuat kita tidak suka jika aib dan keburukan kita diketahui orang lain. Oleh karena itu, orang yang memiliki rasa malu tidak akan menyeret dirinya untuk jadi tukang cela, penyebar fitnah, tukang gunjing dan berbagai perbuatan maksiat lainnya yang nampak.
Singkat kata, rasa malu kepada Allah Ta’ala akan mencegah seseorang dari kerusakan batin, sedangkan rasa malu kepada manusia akan mencegahnya dari kerusakan lahiriah. Dengan demikian, dia akan menjadi orang yang baik secara lahir dan batin dan akan tetap baik ketika sendiri maupun di tengah khalayak ramai. Malu seperti inilah yang merupakan bagian dari iman.
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki rasa malu ? Orang yang tidak memiliki rasa malu, berarti dia tidak memiliki benteng dalam hatinya yang bisa mencegahnya dari perbuatan dosa dan maksiat. Dia akan berbuat semaunya, seakan-akan tidak ada iman yang tersisa dalam hatinya. Na’udzu billah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallama : “Sesungguhnya di antara perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia ialah, Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)
Setelah mengetahui urgensi rasa malu dan manfaatnya bagi seorang hamba, cobalah sekarang kita memperhatikan kondisi manusia saat ini. Sungguh sangat menyedihkan keadaan sebagian orang saat ini. Mereka telah mencampakkan rasa malu sampai sakan tidak tersisa sedikitpun dalam diri mereka, sehingga akibatnya berbagai kemungkaran menjamur di mana-mana; aurat yang semestinya ditutup malah dipertontonkan; perbuatan amoral dilakukan terang-terangan; rasa cemburu pada pasangan sirna. Tindakan asusila nan hina dianggap baik dan dibanggakan. Ketika ini dipermasalahkan, banyak orang sontak membelanya. Sungguh ironis, tapi inilah relita.
Di antara indikasi pudarnya rasa malu dan menipisnya rasa cemburu pada hati sebagian laki-laki adalah memperkerjakan wanita bukan mahramnya atau wanita kafir sebagai pembantu, sehingga khalwat di tengah keluarganya tidak terhindarkan. Ada juga sebagian orang yang memperkerjakan laki-laki bukan mahramnya sebagai supir untuk keluarganya. Mereka relakan keluarga mereka berduaan dengan orang lain di rumah, di kendaraan, di tempat wisata dan lain sebagainya. Akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kemanakah rasa cemburu dan rasa malu mereka ?
Termasuk tanda hilangnya rasa malu dari sebagian wanita zaman sekarang yaitu mereka membuka hijab dan jilbab mereka. Aurat yang seharusnya mereka tutupi, justru mereka pertontonkan kepada khalayak ramai. Mereka keluar rumah dengan dandanan menor, pakaian minim, berbagai hiasan dan aksesoris yang menarik perhatian menempel di tubuh mereka serta tak ketinggalan aroma semerbak yang bisa menggait lawan jenisnya. Sorot mata jalang yang seharusnya membuatnya risih dan malu, justru semakin menimbulkan rasa bangga. Na’udzu billah. Kemanakah rasa malu yang merupakan bagian dari iman seseorang ?
Di manakah rasa malu dari seseorang yang membiarkan anak-anak mereka berkeliaran semaunya, bergaul dengan sembarang orang, melakukan aktifitas tanpa bimbingan dan membiarkan mereka diperbudak hawa nafsu. Yang baik dipandang buruk dan yang buruk terlihat indah dan menyenangkan karena tertipu dengan nafsu syahwat.
Di manakah rasa malu dari para pegawai yang tidak bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas yang dinamakan kepada mereka ? Di manakah rasa malu dari para pedagang yang melakukan penipuan dan tindakan curang, dusta dalam perdagangannya ?
Sungguh, semua perilaku buruk ini akibat dari hilangnya rasa malu dari diri seseorang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda : “Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)
Disadur:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=332692790206707&set=at.323628074446512.1073741834.100003979656825.100001143965317&type=1&theater