BULETIN JUM'AT ONLINE - Edisi 47 / Th. II / Muharrom 1435 H
MUHASABAH DI BULAN MUHARAM
Perputaran waktu terus bergulir seiring dengan perputaran matahari. Dari hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan, tanpa terasa kita sampai pada suatu putaran bulan Muharam yang merupakan permulaan dari putaran bulan dalam kalender hijriyah. Banyak dari saudara kita yang menjadikan bulan Muharam ini sebagai momentum, sehingga memperingatinya merupakan suatu hal yang menjadi keharusan bahkan terkadang sampai keluar dari syari’at Islam. Padahal Rasulullah dan para sahabatnya serta ulama pendahulu umat tidak pernah melakukan hal tersebut.
Mestinya kita banyak bertafakur untuk bermuhasabah atas tambahnya umur ini, karena sesungguhnya dengan bertambahnya umur berarti hakekatnya berkurang kesempatan untuk hidup di dunia ini. Sedangkan hidup di dunia ini hanya sementara bukan kehidupan yang abadi, kita hanya bersinggah sebentar. Karena tujuan kita adalah kehidupan akhirat yang kekal abadi. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman : “Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. Al-A’laa : 17)
Ayat di atas menunjukkan bahwa kehidupan dunia dengan segala ke-gemerlapan dan keindahannya tidaklah berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kebaikan dan kekekalan kehidupan akhirat yang abadi. Maka seorang Muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seharusnya dia lebih memanfaatkan kehidupan dunia ini dengan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan kehidupan yang abadi tersebut. Dan menjadikan dunia ini sebagai sarana menuju kehidupan akhirat yang lebih baik. Allah Ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman ! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hasyr : 18)
Lalu timbullah pertanyaan, bekal apakah yang akan kita bawa menuju kehidupan yang penuh dengan kebaikan tersebut ? Dengan bekal harta ? Atau dengan pangkat ? Atau dengan nasab ? Ternyata bukan itu semua, sebab Allah Ta’ala berfirman : “…Dan bawalah bekal, karena sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (Qs. Al-Baqarah : 197)
Ibnul Qoyyim Rahimahullah menyatakan, hakikat takwa adalah menaati Allah Ta’ala atas dasar iman dan ihtisab, baik terhadap perkara yang diperintahkan ataupun perkara yang dilarang. Maka dia melakukan perintah itu karena imannya terhadap apa yang diperintahkan-Nya disertai dengan pembenaran terhadap janji-Nya, dengan imannya pula ia meninggalkan yang di larang-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.
At-Takwa dalam Al-Qur’an mencakup tiga makna, yaitu :
Pertama, Takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disertai pengakuan superioritas Allah Ta’ala. Hal ini sebagaimana firman-Nya : “…Dan bertakwalah hanya kepada-Ku.” (Qs. Al-Baqarah : 41)
Kedua, Bermakna taat dan beribadah, sebagaimana tertera di dalam firman-Nya. Allah Ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman ! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (Qs. Ali Imran : 102)
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Takwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya ketaatan.”
Sementara Mujahid berkata, “Takwa kepada Allah artinya, Allah harus ditaati dan pantang dimaksiati, selalu diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.”
Ketiga, Bermakna pembersihan hati dari noda dan dosa. Maka inilah hakikat takwa dari makna takwa, selain yang pertama dan kedua. Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nuur ayat 52 : “Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (Qs. An-Nuur : 52)
Para Mufassir juga berkata, bahwa takwa mempunyai tiga kedudukan:
1. Memelihara dan menjaga dari perbuatan syirik
2. Memelihara dan menjaga dari perbuatan bid’ah
3. Memelihara dan menjaga dari perbuatan maksiat
Sehingga seorang disebut muttaqin, yakni selalu berusaha bersungguh-sungguh berada dalam keadaan taat secara menyeluruh, baik dalam perkara wajib, sunnah, meninggalkan kemaksiatan berupa dosa besar dan kecil. Serta meninggalkan yang tidak bermanfaat karena khawatir terjerumus ke dalam dosa, itulah cakupan takwa sebagaimana yang dimengerti oleh Salafush Shalih.
Setelah kita bertakwa kepada kita, maka Allah Ta’ala akan menempatkan kita pada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Di antara janji Allah yang merupakan buah dari takwa adalah memberikan jalan keluar dan mendatngkan rezeki. Allah Ta’ala berfirman : “…Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya…” (Qs. Ath-Thalaaq : 2-3)
Ibnu Uyainah berkata, Itu artinya ia mendapat keberkahan dalam rizkinya. Dan Abu Sa’id al-Khudri berkata, Barangsiapa berlepas dari kuatnya kesulitan dengan kembali kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar dari beban yang ia pikul.
Selain itu, orang yang bertakwa juga akan mendapatkan balasan berupa Surga beserta segala isinya yang merupakan tempat dambaan setiap insan. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Itulah Surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (Qs. Maryam : 63)
Demikianlah kita sebagai hamba Allah, sudah semestinya dalam menghadapi bulan Muharram ini dengan bertafakkur, sudah sejauh mana persiapan kita menghadapi kehidupan yang abadi tersebut. Yang terkadang kita begitu antusias menggapai kehidupan dunia yang fana ini. Mudah-mudahan dapat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Maraji’ : Tulisan Faqihuddin dalam Khutbah Jum’at Pilihan Setahun, Pustaka Darul Haq, hlm. 493-499 dengan ringkas.
Disadur:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=323656937776959&set=a.323628074446512.1073741834.100003979656825&type=1&relevant_count=1