Oleh : أستاذ Abu ‘Abdil Muhsin Firanda Andirja حفظه الله
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda, “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan disayang oleh ar-Rahmaan (Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang-pen). Rahmatilah apa yang ada di bumi, niscaya kalian akan dirahmati oleh Dzat yang ada di langit.” (HR. Abu Dawud no. 4941 dan at-Tirmidzi no. 1924, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 925)
Imam al-Munawi rahimahullaahu berkata, “Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallama (rahmatilah yang ada di bumi) dengan konteks keumuman, mencakup seluruh jenis makhluk, maka mencakup rahmat kepada orang baik, orang fajir, orang yang berbicara, orang yang bisu, hewan dan burung.” (Faidhul Qadiir 1 / 605)
Oleh karenanya Nabi yang mulia shallallaahu ‘alaihi wa sallama tidak hanya memerintahkan kita untuk merahmati orang yang shalih saja, bahkan beliau memerintahkan kita untuk merahmati seluruh manusia dan merahmati hewan !
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Seseorang berkata, ‘Wahai Rasulullah ! Aku menyembelih seekor kambing lantas aku merahmatinya.’ Rasulullah berkata, ‘Bahkan seekor kambing jika engkau merahmatinya, maka Allah Ta’ala akan merahmati engkau.’ Rasulullah mengucapkannya 2 kali.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrod dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 26)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman … jika merahmati seekor hewan maka mendatangkan rahmat Allah Ta’ala dan kasih sayang-Nya, maka bagaimana lagi jika kita merahmati sesama manusia ?
Perintah Allah Ta’ala untuk menebarkan kasih sayang berlaku umum, bahkan mencakup seorang pelaku kemaksiatan sebagaimana yang telah dikemukakan Imam al-Munawi di atas. Bukankah kita kasihan tatkala melihat seseorang yang terjerumus dalam kemaksiatan ? Kehidupannya penuh dengan kegelapan di dunia, terlebih lagi jika akhirnya masuk ke dalam Neraka Jahannam ! Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk kasihan dan merahmatinya serta mendakwahinya ? Bukankah sebagian kita dahulu seperti itu juga ? Bukankah kita sering menanti-nanti agar ada orang yang mendakwahi kita tatkala itu ? Sungguh … hati ini sangat bersedih jika ternyata orang-orang shalih malah menjauhi, mencemooh dan tanpa berusaha mendakwahi mereka !
Ketahuilah wahai para pembaca yang budiman, termasuk pelaku kemaksiatan adalah pelaku bid’ah ! Kebanyakan mereka di zaman kita - terutama di tanah air kita – adalah orang-orang yang jahil dan tidak paham dengan Sunnah dan al-haq. Bahkan kebanyakan mereka yang sama sekali tidak mengenal dakwah Sunnah, mereka mewarisi bid’ah yang mereka lakukan secara turun-temurun. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi kita untuk merahmati para pelaku bid’ah dengan cara menyebarkan dakwah sunnah kepada mereka ! Bukankah banyak di antara kita – bahkan sebagian besar kita – tidak mengenal Sunnah sejak kecil ? Akan tetapi mayoritas kita dahulu tenggelam di atas bid’ah sebagaimana kebanyakan masyarakat yang terperosok dalam praktek-praktek bid’ah. Bukankah kita mendapatkan hidayah dengan adanya seorang Salafy yang kemudian mendekat kepada kita sehingga ia menjelaskan perkara Sunnah kepada kita ? Maka begitu indah apa yang dikatakan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin Rahimahullah tentang ahlul bid’ah, “Para pelaku khurafat tersebut kasihan mereka, jika kita memandang mereka dengan pandangan takdir (bahwasanya semua terjadi dengan takdir Allah Ta’ala – pen), maka kita kasihan mereka dan kita memohon kepada Allah Ta’ala keselamatan bagi mereka. Jika kita memandang mereka dengan pandangan syari’at, maka wajib bagi kita melawan mereka dengan hujjah agama agar mereka kembali kepada jalan yang lurus.” (al-Qauluu al-Mufiidu, 1 / 65)
Dan dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak (sempurna) iman salah seorang dari kalian sehingga ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan kepada Allah Ta’ala ? Maka hendaknya kita juga senang jika saudara kita juga berada di atas ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan yang dilakukannya. Bukankah seorang Muslim yang terjerumus dalam kemaksiatan atau bid’ah juga masih saudara kita sesama Muslim ?
Seseorang yang ikhlas adalah seseorang yang bersikap sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala, bukan bergerak dengan kehendak hawa nafsunya. Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak sebagaimana praktek sebagian orang yang berjiwa kecil, sehingga jika ia marah disebabkan karena mengikuti hawa nafsunya. Bahkan terkadang menghembuskan hawa nafsunya tersebut di balik topeng membela agama. Wallahul Musta’an.
Berikut kami bawakan beberapa kisah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam menyikapi ulah musuh-musuhnya dari para pelaku bid’ah.
---> Kisah Pertama : Ibnu Taimiyyah rahimahullaah dan al-Bakri
Abu Hasan Nurudin al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi yang membolehkan beristighotsah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah wafatnya beliau. Al-Bakri telah menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah seorang zindiq, bahkan terkadang ia mengkafirkan Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu. Pada suatu waktu ia bersama pengikutnya pernah mengeroyok Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu. Tatkala orang-orang semakin banyak berkumpul melihat pengeroyokan tersebut, maka al-Bakri pun kabur karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang dan juga tentara kepada Ibnu Taimiyyah meminta izin kepada beliau untuk menghukumi al-Bakri akibat perbuatannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah berkata, “Aku tidak mau membela diriku.” Akan tetapi mereka tetap ngotot agar menghukum al-Bakri. Akhirnya beliau Rahimahullah berkata, “Kalau bukan hak menghukuminya merupakan hak saya, atau hak kalian atau hak Allah Ta’ala. Jika hak tersebut adalah hak saya, maka al-Bakri telah saya maafkan. Dan jika hak menghukum adalah hak kalian, maka jika kalian tidak mendengar nasehatku, maka jangan meminta fatwa dariku dan silahkan kalian melakukan apa yang kalian hendaki. Dan jika hak adalah milik Allah Ta’ala, maka Dia akan mengambil hak-Nya sesuai kehendak-Nya dan kapan saja Dia kehendaki.” (al-Bidaayah wa an-Nihaayah 14 / 76, tahqiq Ahmad Fatih, Cet. I, Daarul Hadits al-Qaahirah dan adz-Dzail ‘alaa Tabaqaat al-Hanabilah 2 / 400)
---> Kisah kedua : Tatkala musuh beliau meninggal dunia
Ibnul Qayyim rahimahullaahu berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih mengumpulkan sifat-sifat tersebut daripada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu (yaitu memaafkan dan berbuat ihsan kepada orang lain). Sebagian sahabat senior Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Aku sangat berharap sikapku kepada sahabat-sahabatku sebagaimana sikap Ibnu Taimiyyah kepada musuh-musuh beliau.”
Aku tidak pernah melihatnya mendo’akan kejelekan kepada seorang pun dari musuh-musuhnya, bahkan beliau mendo’akan mereka. Suatu hari aku mendatangi beliau memberi kabar gembira tentang meninggalnya musuh besar beliau dan yang paling keras menentang dan menyakiti Ibnu Taimiyyah, maka beliau pun membentak aku dan mengingkari sikapku dan beliau mengucapkan, “Innaa Lillahi wa Innaa Ilaihi Raaji’uun.” Lalu beliau pun segera pergi menuju rumah keluarga musuhnya yang meninggal tersebut untuk menyatakn duka cita dan menghibur mereka, lalu berkata, “Sesungguhnya aku menggantikan posisinya bagi kalian. Karenanya jika kalian membutuhkan sesuatu dan bantuan, maka aku akan membantu kalian.” atau semisal perkataan ini, maka mereka pun gembira dan mendo’akan Ibnu Taimiyyah dan mereka menganggap ini perkara yang besar dari beliau rahimahullaahu.” (Madaarijus Saalikiin 3 / 139-140)
Lihatlah wahai para pembaca yang budiman…sungguh akhlak yang sangat mulia dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu. Itulah sikap orang yang berjiwa besar, mengambil tindakan bukan dengan hawa nafsunya, akan tetapi dengan nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan janji Allah Ta’ala dan kesabaran. Karena dengan kedua sikap inilah (yakin dan sabar), seseorang akan meraih kepemimpinan dalam agama sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu. Allah Ta’ala berfirman : “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakinin ayat-ayat Kami.” (Qs. as-Sajdah : 32)
Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu berkata, “Dengan kesabaran dan keyakinan, maka akan diraih kepemimpinan dalam agama.” (al-Mustadrak ‘alaa Majmuu’il Fataawaa 1 / 145)
Para pembaca yang budiman … sungguh merupakan perkara yang menyedihkan tatkala kita melihat diri kita atau sebagian kita yang sangat jauh dari akhlak orang yang kita kagumi ini, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaahu, yang seluruh hidupnya ia korbankan demi menegakkan aqidah dan manhaj Salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat tatkala melihat sebagian kita mencela dan menghabisi sebagian yang lain di antara Ahlus Sunnah ! Lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah terhadap ahlul bid’ah yang memusuhi beliau, bahkan mengkafirkan beliau dan mengeroyok beliau rahimahullaahu. Ini sikap beliau terhadap ahlul bid’ah, bagaimana lagi sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah ? Ya Allah…Engkau Maha Tahu bahwasanya kami para dai jauh dari sikap dan akhlak tersebut, maka ampunilah kami … Yaa Gafuur … Yaa Rahiim !
Disadur:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=300870686722251&set=at.111107895698532.15534.100003979656825.100001143965317&type=1&theater