Apakah Ahlus Sunnah Menyemarakkan Maulid dan Tahlilan?
Orang yang bijak adalah orang yang berpikir dulu sebelum bertindak. Allah ta’ala berfiman yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya…” (QS. Al Israa’: 36). Dan sudah jelas bagi kita bahwa hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah setiap orang yang berpegang teguh dengan pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang tidak lain bersumber dari mata air wahyu yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, dimanapun dia, dari suku apapun, dan di masa kapanpun dia hidup.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi Salafush shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai Salafi.
Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya dari orang alim sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74)
Salah seorang imam mazhab yang sangat masyhur Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah yang sangat agung. Beliau mengatakan, “Tidak akan ada yang bisa memperbaiki generasi akhir umat ini melainkan dengan sesuatu yang telah berhasil memperbaiki generasi awalnya. Oleh sebab itu ajaran apapun yang tidak termasuk agama pada hari itu maka juga bukan termasuk agama pada hari ini.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih). Dari Ibnul Majisyun, dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata, ‘Barang siapa yang menciptakan suatu kebid’ahan di dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah kebaikan. Maka pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi kerasulan. Sebab Allah telah berfirman (yang artinya), “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama pada hari itu maka dia juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari ini.”.’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).
Imam madzhab yang lain, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan bid’ah. Dan (kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah sesat.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih). Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada Abu Hanifah rahimahullah, “Apa pendapatmu tentang perkara yang diada-adakan oleh sebagian orang yaitu pembicaraan tentang ‘ardh dan jism?”. Maka beliau menjawabnya, “Itu adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan atsar/riwayat dan mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua yang diada-adakan karena ia adalah bid’ah.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih). Dan Imam Asy Syafi’i rahimahullah yang begitu banyak dijadikan rujukan oleh orang-orang yang mengaku Ahlus Sunnah di negeri ini mengatakan dengan lantang, “Apabila kalian dapatkan di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkan apa yang aku katakan.” (lihat Shifat Shalat Nabi karya Syaikh Al Albani rahimahullah).
Sahabat Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah yang yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan ajaran untuk generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para ahli baca Al Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mencontoh maka teladanilah para ulama yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat manusia senantiasa akan berada di atas jalan yang benar selama mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).” Beliau juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).
Sekarang kita ingin bertanya kepada saudara-saudara kita yang menggalakkan Maulidan dan Tahlilan. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia mengajarkan kita untuk melakukannya? Di manakah riwayatnya yang sah dari mereka? Adakah di dalam kitab-kitab hadits seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, atau kitab-kitab Sunan dan Musnad? Atau, adakah di dalam kitab-kitab Fikih para ulama, sehingga di dalamnya bisa kita temukan bab yang membahas tentang Maulidan dan Tahlilan? Betul, kelahiran Nabi adalah sesuatu yang menggembirakan. Betul, kita harus mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ingatlah bukti kecintaan yang hakiki adalah dengan mengikuti ajarannya dan menjauhi bid’ah-bid’ah! Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah, jika kalian mengaku mencintai Allah, maka ikutilah aku…” (QS. Ali ‘Imran : 31). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Maka tidaklah seseorang menjadi pecinta Allah hingga dia mau tunduk mengikuti Rasulullah.” (lihat Al ‘Ubudiyah)
Bukankah baginda Nabi telah berpesan, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti tuntunanku begitu juga tuntunan Khulafa’ Rasyidin yang berpetunjuk… Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sebab setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Trimidzi, dia mengatakan hadits hasan sahih. Hadits ini dicantumkan oleh An Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Al Arba’in An Nawawiyah hadits no. 28). Bahkan tidak tanggung-tanggung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyatakan dengan tegas, “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, niscaya tertolak.” (HR. Muslim). Ingatlah ucapan emas Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Semua bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin seorang pakar fikih dan salah seorang imam Ahlus Sunnah sejati di masa kini mengatakan, “…kami katakan bahwasanya apabila perayaan ini (maulid) adalah termasuk dari kesempurnaan agama, maka pastilah dia sudah ada dan diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu was salam. Dan jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia muncul setelah wafatnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalatu was salam. Mereka ingin menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah.”
“Kecintaan kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di dalamnya terkandung kecenderungan kepada syari’atnya.
Apabila demikian, maka merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka sesungguhnya tidak diperbolehkan -sampai kapanpun- menciptakan ajaran baru yang tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi adalah bid’ah dan diharamkan…” (lihat Fatawa Arkanil Islam, hal. 172-174).
Demikian pula dalam hal Tahlilan, jawaban serupa yang kita berikan. Benar, Tahlil adalah ucapan yang sangat utama bahkan dzikir yang aling afdhal. Benar, dzikir adalah ibadah dan mendatangkan pahala serta dicintai Allah. Akan tetapi, justru karena dzikir itu ibadah maka tata cara mengerjakannya pun juga harus mengikuti tuntunan dan bukan berdasarkan rekaan atau pendapat akal manusia. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada kita untuk membaca tahlil secara bersama-sama dengan di komando dan pada waktu setelah kematian saudara kita sesama muslim? Pada hari yang ketiga, ketujuh, keseratus, atau keseribu sesudah kematiannya? Apakah para sahabat pernah mencontohkan kepada kita untuk beramai-ramai membaca tahlil di sekitar kompleks pekuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang banyak dilakukan oleh sebagian orang yang mengaku penganut Ahlus Sunnah di negeri ini di sekitar kubur wali dan orang-orang salih? Apakah Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad pernah mengajarkan hal ini?
Penutup
Saudaraku seiman dan seakidah, apakah orang-orang yang gemar mengadakan acara bid’ah bahkan tidak segan untuk menyatu bersama pentas musik dan menjadikannya sebagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah serta sarana untuk berdakwah pantas untuk disebut dengan Ahlus Sunnah? Renungkanlah baik-baik…
Saudaraku, kita tidak bermaksud menuduh sesama da’i sebagai orang yang sengaja berniat jahat terhadap umat. Namun lihatlah segala sesuatunya dengan kaca mata ilmu dan keadilan bukan dengan kejahilan dan hawa nafsu. Siapakah yang telah melakukan kedustaan kedustaan di atas: Dengan mengambing hitamkan sebuah kelompok yang disebut sebagai Wahhabi; dengan menutup-nutupi fakta bahwa istilah Salaf dan Salafi memang sudah dikenal dalam Sunnah Nabi khusus tindakan kedua ini tidak kami nisbatkan kepada PKS, sebab yang menyatakan hal itu tidak mengatasnamakan partai tersebut, walaupun secara pemikiran dan garis perjuangan sangatlah mirip; dengan mengesankan bahwa Wahhabi adalah kelompok yang suka mengkafirkan para ulama bahkan Wali Songo; dengan mengesankan bahwa melakukan peringatan Maulid, Tahlilan, atau Barzanji adalah tradisi positif yang telah mendarah daging dalam paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Inikah yang disebut dengan meneladani politik Nabi Yusuf ‘alaihis salam? Inikah yang disebut dengan ‘berinteraksi tanpa terkontaminasi’? Allahul musta’an.
Wahai, saudaraku yang kucintai karena Allah… Tidakkah kita menyaksikan realita yang memilukan ini? Betapa banyak orang yang harus menjadi korban ketidakjujuran sebagian da’i yang kurang bertanggung jawab yang demikian tega membiarkan umat tenggelam dalam kebid’ahan dengan mengatasnamakan sikap toleransi, ishlah, dan menjalin persaudaraan. Dimanakah letak toleransi mereka kepada para ulama pembela manhaj Salaf? Apakah mendiskreditkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Sang pembaharu dakwah Tauhid dan para pengikut dakwahnya adalah wujud toleransi? Apakah mereka telah lupa bahwa pada beberapa tahun yang silam sebagian di antara mereka telah mengenyam berbagai fasilitas pendidikan dan mempelajari akidah salafiyah bersama para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah -yang sering dijuluki dengan nama Wahhabi ini- di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia; sebuah negara yang acap kali direndahkan oleh kaum pergerakan? Di manakah letak ishlah yang selama ini mereka gembar-gemborkan? Membiarkan bid’ah bertebaran bukanlah bentuk ishlah yang Allah inginkan. Menutup-nutupi fakta kebid’ahan dan memalingkan umat dari bimbingan para ulama juga bukan bukti tulusnya persaudaraan.
Tidakkah kita ingat sebuah ayat yang akan meneteskan air mata dan membuat mata orang-orang yang takut kepada Allah menjadi berkaca-kaca? Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari itu orang-orang yang berkawan dekat menjadi saling bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az Zukhruf : 67). Maka semua ikatan persaudaraan dan persahabatan di dunia ini yang tidak dibangun di atas nilai-nilai ketakwaan -dan amar ma’ruf serta nahi munkar tercakup di dalamnya- tentunya akan menuai penyesalan dan persengketaan sengit di hadapan Ar Rahman pada hari pembalasan.
Saudaraku, sekali lagi aku ingin berbicara denganmu dari hati ke hati. Lihatlah kenyataan pahit ini. Siapakah yang telah terbukti bersikap tidak jujur terhadap umat, merusak jalinan ukhuwah, mendiskreditkan sebagian ulama, dan menghambat laju gerakan ishlah yang penuh barakah ini (dakwah salafiyah). Memang, yang kami inginkan bukanlah imbalan materi atau ucapan terima kasih. Yang kami inginkan adalah perbaikan yang hakiki. Membersihkan muka bumi ini dari kotoran dan sampah-sampah syirik, bid’ah, dan kemaksiatan menuju terciptanya masyarakat yang bertauhid, hidup tentram, dan senantiasa mendapatkan curahan ampunan dan barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah pertolongan dan kemenangan yang kita dambakan. Allah ta’ala telah menjanjikan dalam firman-Nya yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong agama Allah, niscaya Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki-kaki kalian.” (QS. Muhammad: 7)
Belumkah tiba saatnya bagi para da’i untuk kembali ke pangkuan manhaj Salaf yang murni, bertaubat kepada-Nya dengan setulus hati. Kita memang tidak ma’shum dan terbuka menerima nasihat. Ingatlah tentang keagungan hakikat taubat ini sebagaimana yang dipaparkan oleh saudara Abu Nu’man Mubarok dalam artikelnya yang berjudul ‘Taubat’ di mana beliau mengatakan, “Hakikat taubat adalah: Menyesal terhadap apa yang telah terjadi, meninggalkan perbuatan tersebut saat ini juga, dan ber-azam yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut di masa yang akan datang.” (dinukil dari sebuah situs milik Al Ikhwan Al Muslimun).
Sebab dengan taubat itulah hati akan menjadi bersih dan bersinar sebagaimana dikatakan oleh saudara Abu Nu’man Mubarok sembari mengutip hadits berikut, “Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seorang mu’min jika melakukan perbuatan dosa, maka akan terjadi titik hitam di dalam kalbunya, jika dia bertaubat dan minta ampun pada Allah, kembali cemerlang hatinya, jika dosanya bertambah, bertambah pula titik hitam tersebut, hingga menutupi hatinya. Itulah “ar-ron” yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya: ‘Sekali-kali tidak (demikian) sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’” (HR. Tirmidzi).” (Taubat, Bagian ke-1. Definisi, Urgensi dan Buah-Buah Taubat. 15 Oktober 2006). Allahul muwaffiq, wa huwal Haadi ila aqwamith thariq.
Akhirnya, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi panutan, demikian juga para sahabatnya yang sangat patut dijadikan teladan, dan segenap pengikut mereka yang setia yang begitu mengharapkan ampunan Ar Rahman dan sangat menginginkan kebahagiaan di hari kemudian. Segala puji bagi Allah Rabb Sang pencipta, penguasa, pemilik, dan pengatur seluruh alam semesta.
Selesai disusun di Yogyakarta
Jumat, 14 Shafar 1429/ 22 Februari 2008
Oleh hamba yang sangat butuh kepada ampunan dan kasih sayang Rabb-nya
Abu Mushlih Ari Wahyudi
Semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahannya
Serta kaum muslimin semuanya
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
[/]. Disadur: Muslim.or.id