Terkejut, prihatin, dan rasa kasihan bercampur menjadi satu. Ketika mencari-cari artikel di internet secara kebetulan saya menemukan sebuah artikel dalam sebuah koran tanah air yang pernah muncul beberapa bulan silam (Jawa Pos. Senin 1 Oktober 2007). Artikel itu berjudul Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah. Risalah ini dikeluarkan oleh sebuah partai ternama yang konon katanya partai dakwah dan sangat menginginkan ishlah (perbaikan) dan kokohnya jalinan ukhuwah (persaudaraan). Begitulah idealisme mereka, sebagaimana terkesan dari judul risalah yang mereka keluarkan di atas. Namun, sayangnya risalah ini justru telah berubah menjadi batu sandungan yang menghambat terjalinnya ukhuwah sesama kaum muslimin yang ingin berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marilah kita buktikan bersama…
Di dalam risalah itu telah disebutkan kalimat-kalimat yang kurang bijak sebagai berikut, “Tidak seperti kelompok yang disebut sebagai Wahabi, PKS adalah Partai politik yang beraktifitas di NKRI, yang menjadikan partai sebagai sarana/wasilah untuk berdakwah dan menyebarkan yang ma’ruf dengan tetap menghormati perbedaan furuiyah, mengedepankan ukhuwwah dan memahami bahwa ikhtilaf ijtihad bisa menjadi rahmat. Karenanya melakukan tabdi’ (membid’ahkan) dan takfir (mengkafirkan) para ulama apalagi para Wali songo yang sangat berjasa itu bukanlah Manhaj PKS yang menganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karenanya PKS tidak pernah mengeluarkan surat edaran yang berisi hujatan maupun pengharaman terhadap peringatan Maulid, Tahlilan, Barzanji yang dilakukan oleh ummat Islam di Indonesia penganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jadi foto kopi surat edaran yang mengatas namakan DPP tanpa ada yang menanda tanganinya dan menggunakan kop yang berbeda itu adalah palsu dan merupakan fitnah terhadap PKS. Maka tidak aneh bila kader PKS seperti DR Nur Mahmudi Ismail yang juga adalah walikota Depok, menyelenggarakan peringatan Maulid dengan penceramah K.H. Zainuddin MZ dan Habieb Rizieq Shihab.” (Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah).
Sebelum lebih dalam menanggapi isi risalah ini, maka izinkanlah kami untuk terlebih dulu memaparkan hakikat persaudaraan dan ishlah yang menjadi tujuan disebarkannya risalah tersebut dan juga menjadi tujuan ditulisnya artikel ini, semoga Allah memberikan taufik kepada kita kepada kebenaran dan keistiqamahan di atasnya.
Hakikat Persaudaraan
Allah Yang Maha Bijaksana berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu…” (QS. Al Hujurat: 10)
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka orang-orang mukmin adalah bersaudara dalam agama dan akidah. Meskipun garis keturunan, negeri-negeri, dan masa hidup mereka saling berjauhan…” (Al Irsyad ila Sahih Al I’tiqad, hal. 349). Syaikh Abdullah bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka saudaramu seakidah itulah saudaramu yang sejati. Dan musuhmu yang sebenarnya adalah musuhmu dalam hal akidah…” (Hushulul Ma’mul, hal. 37).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
{ لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا }
“Janganlah kalian saling membenci. Janganlah kalian mendengki. Dan janganlah kalian saling membelakangi (memboikot). Jadilah kalian wahai hamba-hamba Allah sebagai orang-orang yang bersaudara..” (HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
{ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ }
“Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” Maka para sahabat berkata, “Orang yang terzalimi jelas kami tolong, lalu bagaimanakah cara menolong orang tersebut kalau dia yang melakukan kezaliman?” Beliau pun mengatakan, “Yaitu dengan cara mencegahnya dari perbuatan zalim itu.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Dalil-dalil di atas dengan jelas menggambarkan kepada kita bahwa persaudaraan yang hakiki adalah persaudaraan di atas keimanan. Persaudaraan yang dibangun di atas kecintaan dan kebencian karena Allah, karena itulah simpul iman yang paling kuat sebagaimana telah diungkapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Allah ta’ala meniadakan keimanan pada diri orang-orang yang masih menyimpan rasa sayang dan kecintaan yang dalam kepada siapa saja yang secara terang-terangan menentang Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Tidak akan kamu temukan sebuah kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir namun berkasih sayang kepada orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka itu adalah ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, ataupun sanak kerabat mereka…” (QS. Al Mujadilah: 22)
Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Maka tidaklah seorang hamba menjadi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir secara hakiki kecuali dia pasti menunaikan konsekuensi keimanan dan tuntutan-tuntutannya. Di antara konsekuensi itu adalah mencintai dan membela orang-orang yang menegakkan keimanan serta membenci dan memusuhi orang-orang yang tidak menegakkan nilai-nilai keimanan meskipun orang itu adalah orang terdekat dengannya.” (Taisir Al Karim Ar Rahman, hal. 848).
Inilah akidah al wala’ wal bara’ yang menjadi salah satu pilar utama tegaknya agama Islam. Sehingga ada di antara manusia yang harus kita berikan kecintaan dan loyalitas secara penuh. Mereka itu adalah orang-orang mukmin yang terpilih seperti para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan ada pula yang harus kita benci dan kita kibarkan bendera permusuhan. Mereka itu adalah orang-orang kafir, musyrik, murtad, mulhid (atheis, menyimpang dari prinsip Islam, dsb.) dengan segala macam aliran mereka. Dan ada juga yang dari satu sisi mendapatkan kecintaan dan loyalitas, namun dari sisi yang lain mereka juga berhak untuk mendapatkan kebencian dan permusuhan. Mereka inilah yang disebut dengan ‘ushatul mukminin (orang-orang beriman yang terjerumus dalam kemaksiatan). Mereka dicintai sesuai kadar keimanannya dan mereka dibenci sesuai kadar kemaksiatan yang telah mereka lakukan (lihat Al Irsyad ila Sahih Al I’tiqad, hal. 359-360).
Sehingga dalam konteks ini -yaitu sikap kepada orang Islam yang berbuat salah- kita tidak mengenal istilah tasamuh atau toleransi dalam artian membiarkan sebagian umat Islam yang melakukan maksiat tanpa ada upaya untuk melarang atau membendung kemungkaran yang mereka lakukan. Dan perlu kiranya kita ingat bahwa kandungan istilah maksiat lebih luas daripada dosa-dosa yang biasa dikenal masyarakat seperti berzina, mencuri, minum khamr, dsb. Sebab dalam al-Qur’an dan as-Sunnah kata maksiat digunakan untuk mewakili segala macam penentangan kepada Allah atau Rasul-Nya. Sehingga maksiat itu meliputi segala macam dosa, termasuk di antaranya adalah perbuatan bid’ah. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (sudah masuk bulan Ramadhan atau belum) maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan disambungkan sanadnya oleh Abu Dawud serta dinyatakan hasan oleh penulis buku Shifat Shaum Nabi hal. 28 karena banyaknya jalan periwayatan dan hadits-hadits penguatnya).
Oleh sebab itulah, wahai pembaca yang budiman… adalah sebuah pengkhianatan atas ukhuwah islamiyah apabila ada seorang muslim yang mengetahui saudaranya berada di atas kemungkaran dan dia barang sedikitpun tidak tergerak untuk berupaya menasihatinya. Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya, dst…“ (HR. Muslim). Beliau juga bersabda, “Tolonglah saudaramu yang zalim atau yang dizalimi.” Maka para sahabat berkata, “Orang yang terzalimi jelas kami tolong, lalu bagaimanakah cara menolong orang tersebut kalau dia yang melakukan kezaliman?” Beliau pun mengatakan, “Yaitu dengan cara mencegahnya dari perbuatan zalim itu.” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Inilah hak-hak ukhuwah imaniyah yang akan mempererat ikatan ukhuwah dan mewujudkan ishlah yang hakiki. Bahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhu pun berjanji setia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu menasihati setiap muslim. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu, “Aku berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan bersikap nasihat (mencintai kebaikan) kepada setiap muslim.” (Muttafaq ‘alaih)
Karena sikap nasihat dan menyukai kebaikan bagi saudaranya semacam inilah para ulama yang terdahulu (as-sabiqun) dari kalangan sahabat dan tabi’in memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar ibnu ‘Ayasy tentang Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, “Tidaklah Abu Bakar melebihi para sahabat yang lain gara-gara banyaknya mengerjakan puasa atau shalat. Akan tetapi karena sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya.” Dan yang ada di dalam hati beliau adalah “Kecintaan untuk Allah dan keinginan menasihati sesama makhluk.” (Faedah ini kami dapatkan dari ceramah Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah yang terdapat dalam CD kajian Untaian Nasihat dari Kitab Arba’in An Nawawiyah, penerbit Pustaka Muslim). Dan bukankah kita ingat bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama kali mengobarkan peperangan kepada kaum yang sepakat untuk tidak mau membayar zakat, padahal mereka mengucapkan syahadat? Apakah akan kita katakan bahwa manusia terbaik sesudah para nabi ini telah mencabik-cabik ukhuwah dan memorak-porandakan bangunan Islam? Dan bukankah kita juga masih ingat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboikot (mendiamkan) Ka’ab bin Malik bersama dua orang temannya gara-gara tidak ikut perang Tabuk tanpa alasan? Apakah akan kita katakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencerai-beraikan jalinan ukhuwah dan menghambat upaya ishlah?
Oleh sebab itulah, wahai pembaca yang budiman… tatkala para ulama kita menuliskan berbagai kitab dan risalah untuk membantah ahli bid’ah dan membongkar kesesatan dan penyimpangan mereka bukanlah itu artinya mereka sedang mengobral aib tanpa hak dan merusak ukhuwah islamiyah apalagi menodai kehormatan orang-orang yang berjasa kepada kaum muslimin. Dikisahkan oleh Abu Turab An Nakhasyabi bahwa pada suatu saat dia mendengar Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah sedang membicarakan kritikan atas sebagian periwayat hadits. Maka dia berkata kepada beliau, “Apakah anda hendak menggunjing para ulama?!” Maka Imam Ahmad menjawab, “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, bukan gunjingan.” (Al Ba’its Al Hatsits, hal. 228).
Bukankah kalau ada seorang oknum polisi yang membiarkan seorang pencuri melakukan aksi pencurian di hadapannya dan mengatakan, “Jangan kalian sebut dia maling, biarkan saja. Dia ‘kan saudara kita!” maka tentunya akan kita katakan bahwa orang ini akalnya kurang waras atau bahkan pengkhianat. Lalu bagaimana kita bisa diam terhadap para penyeru kebid’ahan dan penebar pemikiran sesat yang telah ditokohkan oleh sebagian umat Islam, padahal kesesatan mereka telah meracuni hati dan pikiran masyarakat sampai-sampai kebenaran dianggap sebagai kebatilan dan kebatilan justru dianggap benar? Wahai orang-orang yang beriman, manakah yang lebih kalian sukai harta kalian hilang ataukah akidah dan Sunnah Nabi kalian yang hilang?
Hakikat Ishlah
Makna ishlah dapat kita tinjau dari dua sisi. Ishlah dengan makna perbaikan secara umum yaitu dengan melakukan ketaatan apapun bentuknya. Atau ishlah dengan makna mendamaikan antara dua golongan yang sedang terlibat permusuhan atau persengketaan. Kedua makna ini bisa kita temukan dalam ayat dan hadits berikut ini.
Di dalam sebuah ayat Allah ta’ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafik): ‘Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi’. Maka mereka justru mengatakan: ‘Sesungguhnya kami ini adalah orang yang berbuat perbaikan/ishlah.’ Ketahuilah sesungguhnya mereka itulah perusak, akan tetapi mereka tidak menyadari.” (QS. al-Baqarah: 11-12)
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya apabila orang-orang munafik itu dilarang melakukan perusakan di atas muka bumi yaitu perbuatan kufur dan maksiat, dan salah satu bentuknya ialah dengan membongkar rahasia-rahasia kaum muslimin di hadapan musuh-musuh mereka serta membela orang-orang kafir. Niscaya mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang melakukan perbaikan.” Sehingga mereka telah menghimpun antara perbuatan merusak di muka bumi dengan perbuatan menampakkan diri seolah-olah mereka bukan orang yang melakukan perusakan bahkan berani mengklaim apa yang mereka perbuat sebagai perbaikan. Mereka telah memutarbalikkan fakta. Dan mereka juga menggabungkan antara perbuatan batil dengan keyakinan bahwasanya hal itu adalah kebenaran. Ini adalah sebesar-besarnya tindak kejahatan yang lebih mengerikan daripada tindakan orang yang berbuat maksiat sementara hatinya masih meyakini bahwa apa yang dilakukannya memang perbuatan maksiat, sebab kejahatan yang ini lebih mudah untuk meraih keselamatan dan lebih besar harapannya untuk kembali taat.” Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya ishlah/upaya perbaikan di muka bumi yang dapat anda lakukan adalah dengan cara taat kepada Allah dan beriman kepada-Nya. Oleh sebab itulah Allah menciptakan semua makhluk dan menempatkan mereka untuk tinggal di bumi dan Allah pun telah melimpahkan rezeki untuk mereka. Itu semua Allah lakukan agar mereka menggunakannya dalam rangka taat kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya. Karena itulah, apabila ada seseorang yang justru berbuat sesuatu yang bertentangan dengan tujuan ini maka sesungguhnya hal itu merupakan suatu bentuk upaya untuk melakukan perusakan di atasnya serta menyebabkan keruntuhan tatanannya hingga menyeleweng dari hikmah penciptaannya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 43).
Adapun di dalam hadits ialah seperti dalam hadits berikut ini yang berbicara tentang persoalan muamalah. Dari Amr bin ‘Auf Al Muzani radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Perdamaian antara kaum muslimin adalah diperbolehkan kecuali perdamaian yang berakibat mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram…” (HR. Ahlu Sunan kecuali An Nasa’i, disahihkan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 3862. Lihat Bahjatu Qulub Al Abrar, hal. 121). Oleh sebab itu Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Apabila suatu perdamaian mengandung unsur pengharaman sesuatu yang dihalalkan atau penghalalan sesuatu yang diharamkan maka hukumnya tidak sah berdasarkan ketegasan teks hadits ini…” (Bahjatu Qulub Al Abrar, hal. 122).
Ini menunjukkan kepada kita bahwa ishlah bukanlah demi mencari kepuasan kelompok atau demi menjaga nama baik golongan di mata orang. Akan tetapi ishlah ditegakkan di atas kebenaran. Ishlah yang paling agung adalah dengan menyatukan manusia di atas kalimat tauhid dan memerdekakan mereka dari penghambaan kepada sesembahan selain-Nya. Termasuk dalam ishlah yang sangat agung adalah mengajak umat Islam dari kelompok manapun untuk tunduk kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melepaskan diri dari berbagai tradisi dan keyakinan bid’ah yang menodai kesucian syari’at Islam. Dan lebih luas lagi adalah melakukan perbaikan di atas muka bumi ini dengan melakukan berbagai bentuk ketaatan. Dan di antara bentuk ketaatan itu adalah mendamaikan sesama muslim yang bersengketa. Tentunya dengan cara yang benar dan memperhatikan norma-norma syari’at.
Betapa Banyak Orang yang Menginginkan Kebaikan Tapi Tidak Mendapatkannya
Itulah kesan yang muncul di benak saya ketika ingin lebih dalam menanggapi risalah dengan judul yang sangat bagus ini. Apalagi mereka ini dikenal sebagai kelompok orang-orang yang sangat giat menggerakkan dakwah dan begitu bersemangat untuk membela Islam. Namun sayang seribu sayang. Maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Itulah kata pepatah. Kalau saya boleh meminjam istilah mereka, maka risalah yang mereka keluarkan itu pun boleh jadi termasuk kategori ‘informasi yang tidak bertanggung jawab’ dan telah ‘mengganggu iklim ukhuwah yang sedang dijalin…’
Bagaimana tidak? Di dalam risalah ini para pembaca bisa menyaksikan dengan terang bagaimana sebuah kelompok berupaya menjaga ‘citra bersih’ dakwah mereka dengan cara mendiskreditkan atau menjatuhkan nama baik sesama kaum muslimin selain mereka yang disebut sebagai ‘Wahabi’. Marilah kita saksikan kembali penuturan mereka, “Tidak seperti kelompok yang disebut sebagai Wahabi, PKS adalah Partai politik yang beraktifitas di NKRI, yang menjadikan partai sebagai sarana/wasilah untuk berdakwah dan menyebarkan yang ma’ruf dengan tetap menghormati perbedaan furuiyah, mengedepankan ukhuwwah dan memahami bahwa ikhtilaf ijtihad bisa menjadi rahmat. Karenanya melakukan tabdi’ (membid’ahkan) dan takfir (mengkafirkan) para ulama apalagi para Wali songo yang sangat berjasa itu bukanlah Manhaj PKS yang menganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karenanya PKS tidak pernah mengeluarkan surat edaran yang berisi hujatan maupun pengharaman terhadap peringatan Maulid, Tahlilan, Barzanji yang dilakukan oleh ummat Islam di Indonesia penganut Ahlus Sunnah wal Jamaah. Jadi foto kopi surat edaran yang mengatas namakan DPP tanpa ada yang menanda tanganinya dan menggunakan kop yang berbeda itu adalah palsu dan merupakan fitnah terhadap PKS. Maka tidak aneh bila kader PKS seperti DR Nur Mahmudi Ismail yang juga adalah walikota Depok, menyelenggarakan peringatan Maulid dengan penceramah K.H. Zainuddin MZ dan Habieb Rizieq Shihab.” (Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah). Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan dan fitnah yang sangat besar! Di dalamnya terjalin berbagai kedustaan. Kedustaan atas nama Wahabi, kedustaan atas nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan kedustaan dengan mengatas namakan dakwah, ukhuwah, dan ishlah…
Oleh sebab itu pada kesempatan yang sangat berharga ini kami ingin menukilkan pengakuan yang tulus dari sebuah kelompok dakwah, “PKS menyadari sepenuhnya bahwa dirinya, seperti juga organisasi yang lain, bukanlah kelompok yang ma’shum, ia hanyalah sekumpulan manusia yang bisa melakukan kesalahan…” Mereka juga mengatakan sebuah ucapan yang sangat indah, “PKS tetap berkomitmen untuk mendengar serta menerima nasihat, agar terjadi ishlah, agar ukhuwwah islamiyah dapat terjaga.” (Risalah untuk Mengokohkan Ukhuwah dan Ishlah). Semoga orang-orang yang mengucapkannya mendapatkan taufik dari Allah untuk konsisten dengannya.
Berpijak dari kesadaran ini, maka perkenankanlah kami memberikan nasihat dan tanggapan untuk mereka, karena kami menyukai kebenaran dan kebaikan ada pada mereka sebagaimana kami menyukainya ada pada diri kami, wallahul musta’an. In uridu illal ishlaha mastatho’tu wa ma taufiqi illa billah ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unibu.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
[/]. Disadur: Muslim.or.id