Caci Maki Mirza Ghulam Ahmad Kepada Seterunya
Dia pernah mengatakan, melalui “wahyu” yang konon diterimanya, bahwa salah seorang seterunya akan mati pada waktu tertentu. Tetapi ternyata, seteru yang ia sebutkan tidak mati. Maka para ulama pun menyanggahnya dengan mengatakan: “Engkau katanya nabi, tidak berbicara kecuali dengan wahyu. Bagaimana mungkin janji Allah tidak tepat?”
Menanggapi bantahan dari para ulama ini, Mirza Ghulam Ahmad bukannya memberi jawaban dengan bukti dan dalil, tetapi justru melontarkan cacian: “Orang-orang yang menentangku, mereka lebih najis dari babi.” (Najam Atsim, hal. 21, karya Ghulam Ahmad)
Cacian-cacian lain yang keluar dari Mirza Ghulam Ahmad ini sudah sangat keterlaluan. Sebab orang-orang umum saja tidak akan sanggup mengatakannya.
Sang anak, Mahmud Ahmad bin Ghulam pernah mendengar ada orang yang mencaci orang lain dengan sebutan “hai anak haram”, maka ia (Mahmud Ahmad) mengatakan: “Orang seperti ini, pada masa Umar dihukum pidana pukul karena melakukan qadzaf (tuduhan zina). Tetapi sekarang, dapat di dengar seseorang mencela orang lain dengan celaan itu, namun mereka tidak bereaksi. Seolah-olah celaan ini tida ada artinya di mata mereka.” (Khutbah Al-Jum’ah, Mahmud Ahmad bin Ghulam, Koran Al-Fadhl, 13 Februari 1922M)
Tetapi ironisnya, ayahnya justru pernah mencela seorang ulama dengan ucapan “hai anak pelacur”. (Najim Atsim, hal. 228, karya Ghulam Ahmad). Mengacu kepada pernyataan Mahmud Ahmad, bukankah berarti Mirza Ghulam ini pantas untuk dihukum pukul? Dan ucapan itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, tetapi sangat sering dilontarkan ayahnya “sang mujaddid akhlak”.
Contoh lainnya, di dalam khutbahnya, ia pernah menyampaikan: “Itu adalah kitab. Akan dilihat oleh setiap muslim dengan penuh kecintaan dan sayang serta ia mendapatkan manfaat darinya. Dia akan menerima dan membenarkan dakwahku, kecuali keturunan-keturunan para pelacur yang telah Allah kunci hati mereka. Mereka tidak akan menerima.” (Mir’atu Kamalati Al-Islam, hal. 546, karya Ghulam Ahmad)
Begitulah contoh akhlak Mirza Ghulam Ahmad. Semoga kita terlindung dari perbuatan tercela.
Komentar Mirza Ghulam Ahmad Terhadap Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Banyak orang yang celaka muncul di muka bumi karena mencela para rasul, tetapi tidak banyak yang sekaliber Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya, dalam mencela para rasul, “mencuri” kenabian. Allah berfirman.
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah…” (Qs. Al-An’am: 93)
Dia mengklaim sebagai nabi dan rasul-Nya, seperti yang dilakukan oleh Musailamah dan Al-Aswad An-Ansi. Langkah berikutnya, ia mengaku sebagai orang yang paling utama dari dari seluruh nabi dan rasul. Sebagaimana ia menyatakan dirinya telah dianugerahi segala yang telah diberikan kepada seluruh para nabi (Durr Tsamin, hal. 287-288, karya Ghulam Ahmad). Dalam pernyataan yang lain, ia mengatakan, sesungguhnya Nabi (Muhammad) mempunyai tiga ribu mukjizat saja. “Sedangkan aku memiliki mukzijat lebih dari satu juta jenis”, kata Ghulam Ahmad (Tadzkirah Asy-Syahadatain, hal. 72, karya Ghulam Ahmad)
Di lain tempat, katanya, Islam muncul bagaikan perjalanan hilal (bulan, dari kecil), dan kemudian ditaqdirkan mencapai kesempurnaannya di abad ini menjadi badr (bulan pernama), dengan dalil (menurutnya)… (Khutbah Al-Hamiyah, hal. 184, karya Ghulam Ahmad), sebuah tafsiran yang kental nuansa tahrifnya (penyelewengan), layaknya perlakuan kaum Yahudi terhadap Taurat. Sebuah makna yang tidak dikehendaki Allah, tidak pernah disinggung Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun terbetik di benak salah seorang sahabat, para imam dan ulama tafsir. Demikian salah satu trik untuk merendahkan kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Salah seorang juru dakwah mereka, juga tidak ketinggalan ikut membeo merendahkan martabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad pernah sekali datang kepada kami. Pada waktu itu, beliau lebih agung dari bi’tsah yang pertama. Siapa saja yang ingin melihat Muhammad dengan potretnya yang sempurna, hendaknya ia memandang Ghulam Ahmad di Qadian.” (Koran milik Qadiyaniah, Badr, 25 Oktober 1902M)
Kritik Sang Nabi Palsu Terhadap Beberapa Nabi
Mirza Ghulam Ahmad pernah berkomentar tentang Nabi Isa: “Sesungguhnya Isa tidak mampu mengatakan dirinya sebagai orang shalih. Sebab orang-orang mengetahui kalau dia suka minum-minuman keras dan perilakunya tidak baik.” (Hasyiyah Sitt Bahin, hal. 172, karya Ghulam Ahmad)
Komentar miring lainnya, menurutnya, Isa cenderung menyukai para pelacur. Karenanya nenek-neneknya adalah termasuk pelacur (Dhamimah Anjam Atsim, Hasyiyah, hal. 7, karya Ghulam Ahmad)
Anehnya, meski perkataan yang keluar dari mulutnya sangat kotor, tetapi ternyata Mirza Ghulam Ahmad “bersabda” dalam hadits palsunya: “Sesungguhnya celaan, makian, bukan perangai orang-orang shidiq. Dan orang yang beriman, bukanlah orang yang suka melaknat.” (Izalatul Auham, hal. 66)
Cacian Mirza Ghulam Ahmad Kepada Para Sahabat
Para sahabat pun tidak lepas dari cercaan yang dilancarkan Ghulam Ahmad. Termasuk penghulu para remaja/pemuda di surga kelak, yaitu Hasan, Husain, juga Abu Bakar dan Umar
Mirza Ghulam Ahmad ini mengataan: “Orang-orang mengatakan aku lebih utama dari Hasan dan Husain. Maka aku jawab, Itu benar. Aku lebih utama dari mereka berdua. Dan Allah akan menunjukkan keutamaan ini.” (I’jaz Ahmadi, hal. 58, karya Ghulam Ahmad)
Salah seorang anaknya dengan congkak berkata: “Dimana kedudukan Abu Bakar dan Umar (tidak ada apa-apanya) bila dibandingkan dengan kedudukan Mirza Ghulam Ahmad? Mereka berdua saja tidak pantas untuk membawa sandalnya.” (Kitab Al-Mahdi, Pasal 304, hal. 57, karya Muhammad Husain Al-Qadiyani)
Tentang Abu Hurairah, Ghulam Ahmad mengatakan: “Abu Hurairah orang yang dungu. Dia tidak memiliki pemahaman yang lurus.” (I’jaz Ahmadi, hal. 140)
Perhatikan! Padahal ia sendirilah orang yang dungu, lagi bodoh. Lihat pengakuannya: “Sesungguhnya ingatanku sangat buruk. Aku lupa orang-orang yang sering menemuiku.” (Maktubat Ahmadiyah, hal. 21)
Kematian Mirza Ghulam Ahmad
Menyaksikan sepak terjangnya yang kian menjadi, maka para ulama saat itu berusaha menasehati Mirza Ghulam Ahmad, agar ia bertaubat dan berhenti menyebarkan dakwahnya yang sesat. Nasihat para ulama ternyata tidak membuahkan hasil. Dia tetap bersikukuh tidak memperdulikan. Akhirnya, para ulama sepakat mengeluarkan fatwa tentang kekufurannya. Di antara para ulama yang sangat kuat menentang dakwah Mirza Ghulam Ahmad, adalah Syaikh Tsanaullah.
Mirza Ghulam Ahmad sangat terusik dengan usaha para ulama yang mengingatkannya. Akhirnya dia mengirimkan surat kepada Syaikh Tsanaullah. Dia meminta agar suratnya ini dimuat dan disebarkan di majalah milik Syaikh Tsanaullah.
Di antara isi suratnya tersebut, Mirza Ghulam Ahmad tidak menerima gelar pendusta, dajjal yang diarahkan kepadanya dari para ulama masa itu. Mirza Ghulam Ahmad menganggap dirinya, tetap sebagai seorang nabi, dan ia menyatakan bahwa para ulama itulah yang pendusta dan penghambat dakwahnya.
Sang nabi palsu ini menutup suratnya dengan do’a sebagai berikut:
“Wahai Allah Azza wa Jalla Yang Maha Mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan di hati. Jika aku seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas nama-Mu pada waktu siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Ustadz Tsanaullah masih hidup, dan berilah kegembiraan kepada para pengikutnya dengan sebab kematianku.
“Wahai Allah! Dan jika saya benar, sedangkan Tsanaullah berada di atas kebathilan, pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti tha’un, kolera atau penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin.”
Begitulah bunyi do’a Mirza Ghulam Ahmad. Sebuah do’a mubahallah. Dan benarlah, do’a yang ia tulis dalam suratnya tersebut dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla. Yakni 13 bulan lebih sepuluh hari sejak do’anya itu, yaitu pada tanggal 26 bulan Mei 1908M, Mirza Ghulam Ahmad ini dibinasakan oleh Allah Azza wa Jalla dengan penyakit kolera, yang dia harapkan menimpa Syaikh Tsanaullah. Di akhir hayatnya, saat meregang nyawa, dia sempat mengatakan kepada mertuanya: “Aku terkena penyakit kolera.” Dan setelah itu, omongannya tidak jelas lagi sampai akhirnya meninggal. Sementara itu, Syaikh Tsanaullah masih hidup sekitar empat puluh tahun setelah kematian Mirza Ghulam Ahmad.
Meski kematian telah menjemput Mirza Ghulam Ahmad, tetapi bukan berarti ajarannya juga ikut mati. Ternyata kian tersebar di tengah masyarakat. Karenanya, sebagai seorang muslim, hendaklah lebih berhati-hati, agar tidak terjerat dengan berbagai ajaran sesat.
Ya, Allah. Perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai sebuah kebenaran, dan berilah kami kekuatan untuk melakukannya. Ya, Allah. Perlihatkanlah kepada kami kebatilan sebagai sebuah kebatilan, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya.
***
* Oleh: Muhammad Ashim
* Sumber: Al-Qadiayaniyah Dirasat Wa Tahtil, karya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Idarati Turjuman As-Sunnah, Lahore Pakistan, tanpa tahun.
* Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.
[/]. Disadur: Muslim.or.id
Artikel
SMIndramayu.Blogspot.Com