Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Hadits ini mencakup tingkatan-tingkatan mengingkari kemungkaran. Hadits ini juga menunjukkan bahwasanya barang siapa yang mampu untuk merubahnya dengan tangan maka dia wajib menempuh cara itu. Hal ini dilakukan oleh penguasa dan para petugas yang mewakilinya dalam suatu kepemimpinan yang bersifat umum. Atau bisa juga hal itu dikerjakan oleh seorang kepala rumah tangga pada keluarganya sendiri dalam kepemimpinan yang bersifat lebih khusus. Yang dimaksud dengan ‘melihat kemungkaran’ di sini bisa dimaknai ‘melihat dengan mata dan yang serupa dengannya’ atau melihat dalam artian mengetahui informasinya. Apabila seseorang bukan tergolong orang yang berhak merubah dengan tangan maka kewajiban untuk melarang yang mungkar itu beralih dengan menggunakan lisan yang memang mampu dilakukannya. Dan kalau pun untuk itu pun dia tidak sanggup maka dia tetap berkewajiban untuk merubahnya dengan hati, itulah selemah-lemah iman. Merubah kemungkaran dengan hati adalah dengan membenci kemungkaran itu dan munculnya pengaruh terhadap hatinya karenanya. Perintah untuk merubah kemungkaran yang terkandung dalam hadits ini tidaklah bertentangan dengan kandungan firman Allah ‘azza wa jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman urusilah diri kalian sendiri. Tidak akan membahayakan kalian orang yang sesat itu apabila kalian sudah berada di atas petunjuk.” (QS. al-Maidah: 105)
Karena makna dari ayat ini adalah: Apabila kalian telah melaksanakan kewajiban beramar ma’ruf dan nahi mungkar yang dituntut (oleh agama) itu berarti kalian telah menunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian. Setelah hal itu kalian kerjakan, maka tidak akan merugikan kalian orang yang sesat itu selama kalian tetap mengikuti petunjuk. Guru kami Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah mempunyai beberapa kajian berharga dalam masalah amar ma’ruf nahi mungkar ini ketika beliau menafsirkan ayat ini di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan. Sangat tepat jika para pembaca berkenan untuk merujuk kepadanya agar bisa memetik pelajaran lebih darinya.
Dari hadits ini bisa dipetik pelajaran yang lain yaitu:
1. Wajibnya beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Sesungguhnya dengan hal itulah kondisi umat manusia dan masyarakat suatu negeri akan menjadi baik.
2. Melarang kemungkaran itu bertingkat-tingkat. Barang siapa yang sanggup melakukan salah satunya maka wajib bagi dirinya untuk menempuh cara itu.
3. Iman itu bertingkat-tingkat. Ada yang kuat, ada yang lemah, dan ada yang lebih lemah lagi.
(Diterjemahkan dari Fathu Al Qawiy Al Matin fi Syarh Al Arba’in wa tatimmatil Khamsin li An Nawawi wa Ibni Rajab, islamspirit.com)
***
Oleh: Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
[/]. Disadur: Muslim.or.id
Artikel
SMIndramayu.Blogspot.Com