Keempat: Metode dan cara beramar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa atau pemimpin
Penguasa, pemerintah atau hakim adalah manusia biasa dan tidak ma’shum dari dosa, bisa benar, baik dan berlaku adil dan bisa juga bersalah dan berbuat zalim sebagaimana halnya manusia biasa, akan tetapi tidak semua orang berhak untuk mengingkari kemungkaran yang muncul dari penguasa dan tidak pula semua cara yang bisa digunakan dalam hal ini, oleh karena itu agama Islam -agama yang sempurna dan universal- telah menjelaskan metode dan cara yang digunakan untuk bernahi mungkar terhadap penguasa, jikalau metode ini tidak diindahkan dan digunakan dalam hal ini niscaya akan menimbulkan bermacam bentuk fitnah dan kerusakan yang sangat besar, berupa hilangnya keamanan dan kestabilan suatu negara, kehormatan dan martabat diri, darah yang bertumpahan dan nyawa yang melayang dll, dan sejarah perjalanan umat ini merupakan saksi nyata terhadap apa yang saya kemukakan.
Syaikhul Islam berkata, “Hampir tidak dikenal suatu golongan pun yang khuruj (angkat senjata dan kudeta) menghadapi penguasa kecuali kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan mereka lebih besar dari kemungkaran yang dihapuskan.” (Minhaajussunnah, 3/390)
Imam Ibnu Qayyim berkata, “Barang siapa yang memperhatikan fitnah baik besar atau kecil yang menimpa Islam, niscaya ia akan mengetahui bahwa penyebabnya adalah tidak mengindahkan prinsip ini (tidak boleh kudeta dan angkat senjata terhadap penguasa) dan tidak sabar terhadap kemungkaran yang ingin dihapuskan, sehingga menyebabkan kemungkaran yang lebih besar.” (I’laamul Muwaqqi’iin, 3/4)
Adapun metode yang digunakan dalam mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa atau pemerintah ada dua:
Pertama: Tidak boleh menggunakan kekerasan dan senjata.
قال الإمام ابن النحاس (ت 814هت) في “تنبيه الغافلين” (ص 42) : ليس لأحد منعه بالقهر باليد، ولا أن يشهر عليه سلاحا، أو يجمع عليه أعوانا، لأن في ذلك تحريكا للفتن، وتهييجا للشر، وإذهابا لهيبة السلطان من قلوب الرعية، وربما أدى ذلك إلى تجريهم على الخروج عليه، وتخريب البلاد، وغير ذلك مما لا يخفى
Imam Ibnu Nahas berkata: “Tidak boleh bagi seorang pun melarang penguasa dengan menggunakan kekerasan dan tangan serta tidak boleh angkat senjata, atau mengumpulkan masa, karena yang demikian itu menyebabkan fitnah dan menimbulkan kejahatan (kerusakan) serta hilangnya wibawa seorang pemimpin di hati masyarakat, dan terkadang bisa menyebabkan keberanian mereka untuk khuruj (kudeta) terhadapnya, dan rusak (hancur) nya suatu Negara, dan kerusakan lain yang nyata (tidak di pungkiri).”
Apa yang dikemukakan oleh Imam Ibnu An Nahhas di atas merupakan manhaj Ahlus Sunnah dalam mengingkari kemungkaran para penguasa, hal ini sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wajibnya memberikan nasihat kepada para pemimpin dan larangan untuk kudeta dan angkat senjata terhadap penguasa yang zalim, dan sesuai dengan apa yang dikatakan dan dipraktekkan oleh para ulama salafush sholeh.
عن أبي البختري قال: قيل لحذيفة: (ألا نأمر بالمعروف وننهى عن المنكر) قال: (إنه لحسن ولكن ليس من السنة أن ترفع السلاح على إمامك). رواه ابن أبي شيبة في مصنفه 7/508، رقم (37613) ونعيم بن حماد في الفتن 1/153، رقم: 388، وأبو عمرو الداني في السنن الواردة في الفتن 2/391، ، وابن عدي في الكامل 2/407. والبيهقي في شعب الإيمان 6/63
Dari Abu Al Bukhtury beliau berkata, dikatakan kepada Hudzaifah, “Tidakkah kita beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Ini sungguh sangat baik, tetapi bukanlah merupakan sunnah kamu mengangkat senjata (dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar) terhadap imam (penguasa atau pemerintah)mu.”
قال الحسن البصرى -رحمه الله تعالى- عندما خرج خارجي بالبصرة: (المسكين رأى منكرا، فأنكره، فوقع فيما هو أنكر منه). أخرجه الآجري في الشريعة 1/345 رقم: 48
Imam Hasan Al Bashri -rahimahullah- berkata, tatkala keluar salah seorang Khawarij di Bashrah-: “Miskin (kasihan)!!, ia melihat suatu kemungkaran, lalu mengingkarinya (dengan kekerasan), maka ia terjerumus ke dalam kemungkaran yang lebih besar.”
Kedua: Menasehati penguasa atau pemimpin dengan sembunyi.
قال الإمام ابن النحاس (ت 814هـ) في “تنبيه الغافلين” (ص 55) :(ويختار الكلام مع السلطان في الخلوة على الكلام معه على رؤوس الأشهاد، بل يود لو كلمه سرا ونصحه خفية من غير ثالث لهما).
Imam Ibnu An Nahhas berkata, “Dan ia memilih pembicaraan bersama penguasa di tempat yang tersembunyi dari pembicaraan di hadapan orang banyak, bahkan ia menginginkan kalau bisa berbicara dan menasihatinya dalam keadaan tersembunyi tanpa ada orang ketiga.”
وقال الإمام الشوكاني: (ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد) السيل الجرار 4/556
Imam Asy Syaukani berkata, “Akan tetapi mesti bagi orang yang melihat kesalahan imam dalam sebagian masalah agar menasihatinya, dan jangan memperlihatkan pengingkaran kepadanya di hadapan orang banyak.”
Apa yang dekemukakan oleh dua imam di atas sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nasihat para salafus sholeh:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية ولكن ليأخذ بيده فيخلو به، فإن قبل منه فذاك، وإلا كان قد أدى الذي عليه له). رواه أحمد في مسنده 3/403
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang ingin menasihati pemimpin dalam suatu urusan maka jangan ia perlihatkan secara terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia memegang tangan dan membawanya menyendiri, jika dia menerima nasihatnya itulah yang diharapkan, dan jika tidak, ia telah menyampaikan apa yang wajib atasnya.”
عن سعيد ابن جمهان، أنه جاء إلى عبد الله بن أبي أوفى -رضي الله عنه- وهو محجوب البصر فسلم عليه، فقال: من أنت؟ قال أنا سعيد بن جمهان، قال: (إن السلطان يظلم الناس ويفعل بهم ويفعل بهم قال: فتناول يدي فغمزها غمزة شديدة ثم قال: ويحك يا ابن جمهان، عليك بالسواد الأعظم -مرتين- إن كان السلطان يسمع منك فأته في بيته فأخبره بما تعلم فإن قبل منك وإلا فدعه فإنك لست بأعلم منه) رواه أحمد في المسند 4/382 وذكره الهيثمي في المجمع وعزاه لأحمد والطبراني وقال: (ورجال أحمد ثقات).
Dari Sa’id Bin Jamhan, bahwa ia datang kepada Abdullah Bin Abi Aufa -radhiyallahu anhu- dalam keadaan ia tidak melihat kemudian mengucapkan salam kepadanya, lalu beliau menjawab sambil bertanya, “Anda siapa?” Dia menjawab, “Saya Sa’id Bin Jamhan” dan ia berkata, “Pemerintah telah berbuat zalim kepada masyarakat, ia melakukan kedzaliman terhadap mereka,” lalu ia memegang tanganku dan mencubitnya dengan kuat, kemudian berkata, “Celaka kamu wahai Ibnu Jamhan, berpeganglah kamu dengan sawadul a’zham (jama’ah yang banyak) -dia katakan dua kali-, jika pemerintah mendengar nasihatmu maka datangi ke rumahnya dan sampaikan kepadanya apa yang kamu ketahui, jika ia menerima nasihatmu (itu yang diharapkan), jika tidak, tinggalkan dia, karena kamu belum tentu lebih tahu daripadanya.”
وعن أسامة بن زيد -رضي الله عنه- أنه قيل له: ألا تدخل على عثمان فتكلمه؟ فقال: أترون أني لا أكلمه إلا أسمعكم، والله لقد كلمته فيما بيني وبينه ما دون أن أفتتح أمرا لا أحب أن أكون أول من فتحه) رواه البخاري [6/330 -فتح الباري] رقم: 6685 ومسلم (رقم: 2989)، واللفظ لمسلم.
Dari Usamah Bin Zaid -radhiyallahu anhu- dikatakan kepada beliau, “Apakah kamu tidak masuk (menemui) Utsman dan berbicara dengannya (menasihatinya)?” Beliau menjawab, “Apakah kalian menyangka saya tidak berbicara kepadanya (menasihatinya) kecuali harus saya beritahu kalian, demi Allah sungguh saya telah berbicara dengannya secara empat mata, tanpa membuka permasalahan yang saya tidak ingin menjadi orang yang paling pertama membukanya.”
قال الشيخ الألباني رحمه الله في تعليقه على “مختصر صحيح مسلم” ص 330 : (يعنى المجاهرة بالإنكار على الأمراء في الملأ، لأن في الإنكار جهارا ما يخشى عاقبته، كما اتفق في الإنكار على عثمان جهارا إذ نشأ عنه قتله)اهـ.
Syekh Albani -rahimahullah- mengomentari hadits di atas sambil berkata, “Maksudnya terang- terangan dalam mengingkari (kesalahan) para pemimpin di hadapan orang banyak, karena mengingkari secara terang-terangan (menyebabkan) apa yang ditakutkan akibatnya, sebagaimana yang terjadi dalam pengingkaran terhadap Utsman secara terang-terangan, yang menyebabkan terbunuhnya beliau.” (Mukhtashar Shahih Muslim hal. 330)
Setelah dijelaskan metode Ahlus sunnah dalam mengingkari kemungkaran baik yang muncul dari masyarakat umum atau dari penguasa atau pemimpin, ada baiknya di akhir lembaran ini disebutkan sebagian metode yang salah yang bertentangan dengan nash-nash syar’i dan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal jama’ah dan manhaj salaf dalam mengingkari kemungkaran, di antaranya:
Angkat senjata, kudeta dan provokasi untuk melawan pemerintah.
Melakukan demonstrasi yang merupakan metode yang paling disukai oleh mayoritas manusia di zaman sekarang ini, sementara ini adalah metode yang dicetuskan oleh orang-orang Yahudi.
Dengan membeberkan kesalahan pemerintah di depan masyarakat umum, atau lewat media massa.
Dengan menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri.
Sengaja memata-matai suatu kemungkaran yang tersembunyi untuk diingkari.
Mengingkari kemungkaran yang menyebabkan munculnya kemungkaran yang lebih besar.
dll.
Demikian yang bisa disampaikan dalam lembaran yang sederhana ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, jika didapatkan di dalamnya kebenaran ini semata mata taufik dari Allah Ta’ala dan jika didapatkan kesalahan dan kekeliruan ini semata-mata dari diri saya sendiri, saya istighfar dan taubat kepada Allah dan sangat mengharapkan nasihat dan saran dari para pembaca.
الحمد لله بنعمته تتم الصالحات، وصلى الله وسلم على نبيا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.
Muhammad Nur Ihsan
Madinah An-Nabawiyah
18/4/ 1426 H. / 26 May 2005 M
***
Penulis: Ustadz Muhammad Nur Ihsan, M.A.
(Mahasiswa S3 Universitas Islam Madinah, KSA)
[/]. Disadur: Muslim.or.id
Artikel
SMIndramayu.Blogspot.Com