BULETIN JUM'AT ONLINE - Edisi 91 / Th. III / Rabi'ul Awal 1436 H
Hakikat Cinta Kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam (Taujiihun Nazhar Ila Ushuulil Atsar 1 / 40), memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari al-Qur’an yang mulia, yang merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan agama Islam dengan benar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. an-Nahl : 44).
Ketika Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha ditanya tentang akhlak (tingkah laku) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh, akhlak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim no. 746) Ini berarti, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya. (Syarh Shahih Muslim 6 / 26) Maka, orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan al-Qur’an dan agama Islam secara keseluruhan.
Imam Ahmad bin Hambal - semoga Allah Ta’ala merahmatinya - berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah bahwa sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.” (Ushuulus Sunnah hal. 3)
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan. (Jaami’ul Uluumi wal Hikam hal. 321)
Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.” (Syarhus Sunnah hal. 59)
Arti mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah / petunjuk)-ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran : 31).
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.” (Tafsir Ibnu Katsir 1 / 477)
Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah, bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.” (Asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa 2 / 24)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau memuji dan mensifati beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan, dengan menempatkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melebihi kedudukan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tempatkan beliau padanya. (Mahabbatur Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam Bainal Ittibaa’ Wal Ibtidaa hal. 65-71)
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.“ (HSR. al-Bukhari no. 3261)
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiallahu ‘anhum. Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorangpun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut.” (HR. at-Tirmidzi 5 / 90 dan Ahmad 3 / 132)
Bagaimana menyempurnakan cinta kepada sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam diri kita ?
Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.
Dua tingkatan tersebut adalah :
1. Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara utuh. Kemudian, mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, manaati semua kewajiban yang beliau perintahkan, maninggalkan semua perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan kemampuan untuk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus dipenuhi (oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
2. Tingkatan fadhl (keutamaan / kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan) ucapan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sikap zuhud beliau terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak).” (Istinyaaqu Nasiimil Unsi Min Nafahaati Riyaadhil Qudsi hal. 34-35)
Keutamaan mengikuti sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzaab : 21)
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik“, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. (Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau hal. 481)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir 3 / 626)
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (Taisiirul Kariimir Rahmaan hal. 481)
Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah orang yang paling semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena, seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Shalih al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya, sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia.” (Manaasikul Hajji wal ‘Umrah hal. 92)
Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasihat Imam al-Khatiib al-Baghdadi (Al-Jaami’ Li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ 1 / 215) berikut ini, “Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), (berusaha untuk) membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)-nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. al-Ahzaab : 21).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, 15 Jumadal ula 1430 H
Disadur:
https://m.facebook.com/photo.php?fbid=516989928443658&id=100003979656825&set=a.489621434513841.1073741836.100003979656825&refid=13
Artikel:
SMIndramayu.Blogspot.Com