Edisi 21 / Th. I / Jumadits Tsani 1434 H
Oleh : Ust. ‘Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Sebagai hamba Allah Ta’ala, semua manusia dalam kehidupan di dunia ini tidak akan luput dari berbagai macam cobaan, baik berupa kesusahan maupun kesenangan. Hal itu merupakan sunnatullah yang berlaku bagi setiap insan, yang beriman maupun kafir. Allah Ta’ala berfirman : “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.” (Qs. al-Anbiyaa’ : 35)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullaahu berkata, “(Makna ayat ini) yaitu, ‘Kami menguji kamu (wahai manusia), terkadang dengan bencana dan terkadang dengan kesenangan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang ingkar, serta siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa’.” (Tafsiir Ibnu Katsir 5 / 342, cet. Daar ath-Thayyibah)
Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang Maha Tinggi dan hikmah-Nya yang Maha Sempurna menurunkan syari’at-Nya kepada manusia untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya dengan berpegang teguh kepada agama Allah sajalah seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman ! Penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu…” (Qs. al-Anfaal : 24)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullaahu berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanya didapatkan dengan memenuhi seruan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka, barangsiapa tidak memenuhi seruan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun fisiknya hidup sebagaimana binatang yang paling hina. Jadi, kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang dengan memenuhi seruan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara lahir maupun batin.” (al-Fawaaid, hlm. 121, cet. Muassasatu Ummil Qura’)
Allah Ta’ala berfirman : “Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Rabbmu dan bertaubat kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan Dia akan memberikan karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik…” (Qs. Huud : 3)
Dalam mengomentari ayat-ayat di atas, Imam Ibnul Qayyim Rahimahullaahu mengatakan, “Dalam ayat-ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Dia akan memberikan balasan kebaikan bagi orang yang berbuat kebaikan dengan 2 balasan, balasan (kebaikan) di dunia dan balasan (kebaikan) di akhirat.” (al-Waabilush Shayyib, hlm. 67, cet. Daar al-Kitabi al-‘Arabi)
Seorang Mukmin dengan ketakwaannya kepada Allah Ta’ala, memiliki kebahagiaan yang hakiki dalam hatinya, sehingga masalah apapun yang dihadapinya di dunia ini tidak akan membuatnya mengeluh atau stres, apalagi berputus asa. Hal ini disebabkan keimanannya yang kuat kepada Allah Ta’ala membuat dia yakin bahwa apapun ketetapan yang Allah berlakukan untuk dirinya, maka itulah yang terbaik baginya. Dengan keyakinannya ini pula Allah Ta’ala akan memberikan balasan kebaikan baginya berupa ketenangan dan ketabahan dalam jiwanya. Inilah yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firmannya : “Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriaman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. at-Taghaabun : 11)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullaahu berkata, “Maknanya, ‘Seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengaharapkan (balasan pahala dari Allah), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah Ta’ala tersebut, maka Allah akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allah Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya’.” (Tafsiir Ibnu Katsir 8 / 137)
Inilah sikap seorang Mukmin yang benar dalam menghadapi musibah yang menimpanya. Meskipun Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya yang Maha Sempurna telah menetapkan bahwa musibah itu akan menimpa semua manusia, baik orang yang beriman maupun orang kafir, akan tetapi orang yang beriman memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh orang kafir, yaitu ketabahan dan pengharapan pahala dari Allah Ta’ala dalam menghadapi musibah tersebut. Dan tentu saja semua ini akan semakin meringankan beratnya musibah tersebut bagi seorang Mukmin.
Jadi, orang-orang Mukmin maupun kafir sama-sama menderita kesakitan, akan tetapi orang-orang Mukmin teristimewakan dengan pengharapan pahala dan kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Ighaatsul Lahfaan, hlm. 421-422 – Mawaaridul Amaan)
Di samping sebab-sebab di atas, ada lagi faktor lain yang bisa meringankan semua kesusahan yang dialami seorang Mukmin di dunia ini, yaitu merenungi dan menghayati hikmah-hikmah agung yang Allah Ta’ala jadikan dalam setiap ketentuan yang terjadi pada para hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Dengan merenungi hikmah-hikmah tersebut, seorang Mukmin akan semakin yakin bahwa semua cobaan yang menimpanya pada hakikatnya adalah kebaikan bagi dirinya, untuk menyempurnakan keimanannya dan semakin mendekatkan diri-Nya kepada Allah Ta’ala.
Semua ini, di samping akan semakin menguatkan kesabarannya, juga akan membuatnya selalu bersikap berbaik sangka kepada Allah Ta’ala dalam semua musibah dan cobaan yang menimpanya. Dengan sikap ini, Allah akan semakin melipat-gandakan balasan kebaikan baginya, karena Allah Ta’ala memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam sebuah hadits qudsi, “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku.” (HR. Bukhari no. 7066, cet. Daar Ibnu Katsir dan Muslim no. 2675)
Maknanya, “Allah Ta’ala akan memperlakukan seorang hamba sesuai dengan persangkaan hamba tersebut kepada-Nya dan Dia akan berbuat pada hamba-Nya sesuai dengan harapan baik atau buruk dari hamba tersebut, maka hendaknya hamba tersebut menjadikan baik persangkaan dan harapannya kepada Allah Ta’ala. (Faidhul Qadiir 2 / 312 dan Tuhfatul Ahwadzi 7 / 53)
Di antara hikmah yang agung tersebut adalah : Pertama, Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai obat pembersih untuk mengeluarkan semua kotoran dan penyakit hati yang ada pada hamba-Nya. Jadi, musibah dan cobaanlah yang membersihkan penyakit-penyakit itu, sehingga hamba tersebut meraih pahala yang sempurna dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. (Ighaatsatul Lahfaan, hlm. 422 – Mawaaridul Amaan)
Kedua, Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan tersebut sebagai sebab untuk menyempurnakan penghambaan diri dan ketundukan seorang Mukmin kepada-Nya, karena Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang selalu taat beribadah kepada-Nya dalam semua keadaan, susah maupun senang. (Ighaatsatul Lahfaan, hlm. 424 – Mawaaridul Amaan). Ketiga, Allah Ta’ala menjadikan musibah dan cobaan di dunia sebagai sebab untuk menyempurnakan keimanan seorang hamba terhadap kenikmatan sempurna yang Allah Ta’ala sediakan bagi hamba-Nya yang bertakwa di Surga kelak. Inilah keistimewaan Surga yang sangat jauh berbeda keadaannya dengan dunia, Allah Ta’ala menjadikan Surga-Nya sebagai negeri yang penuh kenikmatan yang kekal abadi, serta tidak ada kesusahan dan penderitaan padanya selamanya. Sehingga kalau seandainya seorang hamba terus-menerus merasakan kesenangan di dunia, maka tidak ada artinya keistimewaan Surga tersebut dan dikhawatirkan hatinya akan terikat kepada dunia, sehingga lupa untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal abadi di akhirat nanti. (Ighaatsatul Lahfaan, hlm. 423 – Mawaaridul Amaan dan Jaami’ul ‘Uluumi wa al-Hikam, hlm. 461, cet. Daar Ibnu Hazm)
Maraji’ : Majalah As-Sunnah Edisi 02 / Thn. XIII / Jumadil Awwal 1430 H, hlm.50-53 dengan ringkas
Disadur :
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=231189927023661&set=at.111107895698532.15534.100003979656825.100001143965317&type=1&theater
Artikel :
SMIndramayu.blogspot.com