BULETIN JUM'AT ONLINE - Edisi 75 / Th. II / Syawwal 1435 H
Anjuran Menikah di Bulan Syawwal
Penulis : dr. Raehanul Bahraen
Setelah bulan suci Ramadhan ada bulan Syawwal, di mana masyarakat sudah mengenal sunnah puasa 6 hari di bulan Syawwal. Akan tetapi ada juga sunnah lainnya di bulan Syawwal, yaitu anjuran menikah di bulan Syawwal. Bagi yang sudah dimudahkan oleh Allah, bisa melaksanakan sunnah ini.
Dalil sunnah menikah di bulan Syawwal
‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallama menceritakan,
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ فِي شَوَّالٍ، وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي؟، قَالَ: ((وَكَانَتْ عَائِشَةُ تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِي شَوَّالٍ))
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallama menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallama yang manakah yang lebih beruntung di sisinya dariku ?” (Perawi) berkata, “Aisyah radhiyallaahu ‘anha dahulu suka menikahkan para wanita di bulan Syawal” (HR. Muslim).
Sebab Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallama menikahi ‘Aisyah di bulan Syawwal adalah untuk menepis anggapan bahwa menikah di bulan Syawwal adalah kesialan dan tidak membawa berkah. Ini adalah keyakinan dan aqidah Arab Jahiliyah. Ini tidak benar, karena yang menentukan beruntung atau rugi hanya Allah Ta’ala.
Bulan Syawwal dianggap bulan sial menikah karena anggapan di bulan Syawwal unta betina yang mengangkat ekornya (syaalat bidzanabiha). Ini adalah tanda unta betina tidak mau dan enggan untuk menikah, sebagai tanda juga menolak unta jantan yang mendekat. Maka para wanita juga menolak untuk dinikahi dan para wali pun enggan menikahkan putri mereka.
Ibnu Katsir rahimahullaahu menjelaskan, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallama menikahi ‘Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua ‘ied (bulan Syawwal termasuk di antara ‘ied fitri dan ‘idul Adha), mereka khawatir akan terjadi perceraian. Keyakinan ini tidaklah benar.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 3 / 253).
Imam An-Nawawi rahimahullaahu juga menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menikahkan, menikah, dan membangun rumah tangga pada bulan Syawwal. Para ulama kami (ulama syafi’iyyah) telah menegaskan anjuran tersebut dan berdalil dengan hadits ini. Dan 'Aisyah radhiyallaahu ‘anha ketika menceritakan hal ini bermaksud membantah apa yang diyakini masyarakat jahiliyyah dahulu dan anggapan takhayul sebagian orang awam pada masa kini yang menyatakan kemakruhan menikah, menikahkan, dan membangun rumah tangga di bulan Syawwal. Dan ini adalah batil, tidak ada dasarnya. Ini termasuk peninggalan jahiliyyah yang ber-tathayyur (menganggap sial) hal itu, dikarenakan penamaan syawwal dari kata al-isyalah dan ar-raf’u (menghilangkan / mengangkat).” (yang bermakna ketidakberuntungan menurut mereka)” (Syarh Shahih Muslim, 9 / 209).
Larangan “merasa sial” (thiyarah)
Anggapan “merasa sial” atau “Thiyarah” adalah keyakinan yang kurang baik bahkan bisa mengantarkan kepada kesyirikan. Begitu juga praktek masyarakat kita yang kurang tepat yaitu yakin adanya hari sial, bulan sial bahkan keadaan-keadaan yang dianggap sial. Misalnya kejatuhan cicak, suara burung hantu malam hari dan lain-lainnya.
Keyakinan seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam, karena untung dan rugi adalah takdir Allah dengan hikmah. Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallama menjelaskan bahwa anggapan sial pada sesuatu itu termasuk kesyirikan. Beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، وَمَا مِنَّا إِلَّا، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
“Thiyarah (anggapan sial terhadap sesuatu) adalah kesyirikan. Dan tidak ada seorang pun di antara kita melainkan (pernah melakukannya), hanya saja Allah akan menghilangkannya dengan sikap tawakkal” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 429).
Beliau juga bersabda,
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الصَّالِحُ: الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ
“Tidak ada (sesuatu) yang menular (dengan sendirinya) dan tidak ada “Thiyarah”/ sesuatu yang sial (yaitu secara dzatnya), dan aku kagum dengan al-fa’lu ash-shalih, yaitu kalimat (harapan) yang baik” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Demikian, semoga bermanfaat.
Disadur:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=445786008897384&set=a.323628074446512.1073741834.100003979656825&type=1&theater